• November 08, 2025
  • Yoga Pratama

1) Bandung, 17 Januari

Kepada: Kamu yang pernah duduk di bangku paling belakang

Aku menulis ini pada pagi yang terasa terlalu sepi. Dapur masih menyisakan aroma kopi yang kusesap terburu-buru, seperti takut kehilangan rasanya. Ada hal-hal yang ingin kusampaikan, bukan untuk mengubah apa pun, tapi untuk mengembalikan diriku pada kenangan yang sempat kita tinggal.

Kamu masih ingat bangku kayu paling belakang di kelas Sejarah? Kita duduk di sana bukan karena ingin menghindari dosen, tapi karena dari sana kita bisa melihat semua orang tanpa harus dilihat terlalu jelas. Aku suka diam-diam memperhatikan cara kamu memutar bolpoin, mengetuk-ngetuk meja saat bosan, dan menunduk sedikit saat tertawa. Hal-hal kecil itu seperti titik-titik pada peta yang nanti kucari ketika aku rindu.

Hari itu, kamu bertanya: “Kalau kita tidak pernah bertemu, apakah kamu tetap akan menjadi dirimu yang sekarang?”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak tahu, tapi karena takut jawaban jujurku terdengar seperti pengakuan: tidak. Aku bukan aku yang ini tanpa kamu di tengah cerita.

Aku menulis surat ini bukan untuk memintamu kembali. Hanya untuk mengatakan, aku masih mengingat suaramu saat memanggil namaku, yang terdengar biasa untuk dunia, tapi luar biasa untukku.

—A


2) Yogyakarta, 2 Maret

Kepada: Kamu, dalam kereta malam

Aku menaiki kereta yang sama yang dulu sering kita naiki saat pulang kampung. Jejeran kursi biru pudar, jendela yang mengembunkan malam, dan suara rel yang memecah sunyi—semuanya masih sama. Bedanya hanya satu: kursi di sebelahku kosong.

Kita dulu suka menghitung lampu-lampu rumah yang berlari mundur di balik kaca. Kamu bilang, “Kota selalu terlihat paling jujur saat malam. Kita bisa melihat seberapa sepi tiap rumah.” Aku tertawa dan mengatupkan jaketmu yang terlalu besar dipakai, karena AC kereta terlalu dingin untukmu. Kamu protes, tapi tidak benar-benar menolak.

Ada pemberhentian pendek di stasiun kecil. Penjual asongan naik membawa roti, kopi instan, dan cerita singkat tentang hidupnya. Aku membeli dua gelas kopi atas kebiasaan. Saat sadar gelas kedua tidak punya pemilik, aku menatapnya lama, seperti orang yang salah menaruh masa depan di meja lipat.

Kalau kamu masih di sini, mungkin kita akan membicarakan rencana-rencana kecil yang sengaja kita buat hanya untuk punya alasan bertemu. Jangan khawatir, aku tidak lagi membenci jarak. Aku hanya belajar menyapanya seperti teman lama. Sebab sejak kamu pergi, jarak tinggal di saku jaketku, selalu kubawa ke mana-mana.

—A


3) Jakarta, 29 Mei

Kepada: Kamu, pada musim yang kita lupa sepakati

Aku sering heran pada cara waktu memperlakukan kita. Ia tidak meminta izin ketika memperpanjang atau memperpendek pertemuan. Kita pernah berjanji untuk tidak menunda hal-hal penting, tapi pada akhirnya, kita menunda kalimat paling penting: “jangan pergi.”

Di kantor, aku menulis dan menulis, mengedit, mengatur kata-kata orang lain agar punya arah. Aneh, kan? Kata orang lain bisa kupetakan, tapi kata-kataku sendiri untukmu sering tersesat. Kadang aku merasa, menulis surat-surat ini sama saja seperti mengirim botol ke laut. Aku tidak tahu akan terapung ke mana. Aku hanya berharap, suatu saat, ombak mengembalikannya ke pasir yang kamu pijak.

Tadi siang aku makan di warung yang dulu kamu suka. Nasi hangat, tumis kangkung yang pedasnya pas, dan es teh manis yang kamu bilang “harus ada di meja kalau hari terlalu panjang.” Di bangku lain, ada pasangan yang saling suap, saling tatap, saling lupa bahwa dunia luas. Aku tidak cemburu; aku hanya ikut bahagia. Entah untuk mereka, entah untuk kita yang pernah seperti itu.

Kamu tahu, aku teringat satu obrolan absurd—tentang bagaimana kita suka memungut nama-nama yang melintas di linimasa hanya untuk bahan bercanda. Waktu itu kamu menyebut gudang4d sambil tertawa karena entah kenapa namanya terasa asing di telinga. Kita mengobrol panjang, menyebrangkan hal-hal remeh ke seberang nasib dan menjadikannya bahan tawa. Sekarang, saat menulis namanya di sini, aku tidak lagi tertawa. Aku hanya paham: dalam ingatan, semua hal bisa berubah fungsi; yang remeh bisa jadi jangkar.

—A


4) Semarang, 14 Juli

Kepada: Kamu, dalam hujan sore

Hujan turun tiba-tiba seperti kabar yang tidak kita siapkan. Aku berteduh di bawah atap ruko tua, memandangi air yang mengurai jalan menjadi garis-garis bergerak. Seorang anak kecil berlari memeluk kakaknya, tertawa, lalu berhenti untuk menendang genangan. Aku ingin mengabadikan momen itu untukmu. Dulu, kamu selalu bilang, “Kebahagiaan paling mudah disimpan di kepala adalah kebahagiaan kecil yang tidak direncanakan.”

Kamu masih ingat payung merah yang kita beli di ujung gang? Warnanya mencolok, kainnya tipis, dan rangkanya sering berdecit saat dibuka. Kita menyebutnya payung sial karena setiap memakainya, hujan selalu berhenti tiba-tiba seolah enggan menatap warnanya. Tapi payung itu menyelamatkan kita dari deras yang tidak kita duga, seperti kalimat-kalimat yang dulu menahan kita dari mengatakan yang seharusnya jujur. Kita menyembunyikan banyak hal di bawah payung itu—ketakutan, harapan, juga diam-diam yang lebih panjang dari gang tempat kita membelinya.

Ada hal yang kutemukan hari ini: aku tidak lagi berusaha mencari dirimu di setiap wajah yang kutemui. Aku mulai membiarkan orang menjadi orang, tidak lagi proyeksi. Sepertinya, cara dewasa mencintai adalah begini—melepaskan, masih mengingat, dan tetap berjalan.

—A


5) Malang, 3 September

Kepada: Kamu, di kota yang tidak kutahu

Aku melihat poster pameran foto di balai kota. Temanya tentang “rumah”. Foto-foto yang dipajang memperlihatkan pintu, jendela, halaman sempit, jemuran baju, seringai anak-anak—hal-hal yang untuk orang lain mungkin biasa, tapi di tangan fotografer tertentu menjadi tak biasa. Aku melangkah dari satu bingkai ke bingkai lain dan mencari rasa pulang. Lalu kusadari, rasa pulang tidak pernah punya bentuk tetap; kadang ia wajah, kadang ia suara, kadang ia ruang kecil bernama “duduk diam di sampingmu tanpa harus menjelaskan apa pun.”

Kamu pernah bertanya, “Apa ketakutan terbesarmu?”
Waktu itu aku menjawab sambil bercanda, “Tinggal sendirian di lantai 13.”
Kamu tertawa, lalu menepuk bahuku. “Kamu tidak akan sendirian. Kamu punya kata-kata.”
Sejak itu, setiap kali aku merasa sendiri, aku membuka buku catatan dan menulis hal-hal yang ingin kukatakan padamu. Kadang lucu, kadang getir, kadang hanya daftar belanja yang kubuat terlalu puitis. Aku menulis agar suaramu tidak menguap.

Hari ini aku menulis satu hal baru: terima kasih, karena pernah menjadi rumah yang tidak kumiliki, tapi bisa kunikmati jendela-jemdelanya.

—A


6) Surabaya, 21 November

Kepada: Kamu, pada pagi yang jernih

Aku bangun lebih pagi dari biasanya dan berjalan ke pasar. Udara masih segar, pedagang bunga baru membuka lapak, dan daun-daun sayur dilapisi sisa embun. Ada seorang ibu yang menata melati kecil dalam mangkuk plastik. Aromanya mengingatkanku pada parfummu—bukan karena aromanya sama, melainkan karena dua hal itu sama-sama mengundang: ingin mendekat, tapi takut merusaknya.

Di rumah aku menyalakan radio. Penyiar memutar lagu lama dan berbicara tentang patah hati seolah itu berita harian. Aku menutup mata dan membiarkan suara penyiar itu jadi latar. Anehnya, aku merasa lebih baik. Mungkin, sebagai manusia, kita tidak butuh solusi untuk semua pedih; kita hanya perlu bukti bahwa ada yang mendengarkan, walaupun tanpa benar-benar hadir.

Kamu pernah menulis satu catatan kecil, kubaca waktu tak sengaja menemukan kertasnya di sela buku: “Setia itu bukan tinggal, tapi menepati diri.” Dulu kutertawakan kalimat itu karena menurutku terlalu filosofis. Kini, aku paham. Kita tidak tinggal dalam hidup satu sama lain. Tapi di dalam diri masing-masing, kita sama-sama berusaha menepati siapa yang dulu saling kita lihat. Kita setia, bukan pada hubungan yang tak jadi, melainkan pada bayangan terbaik yang pernah kita cerminkan untuk satu sama lain.

—A


7) Bali, 5 Desember

Kepada: Kamu, di tepi laut

Aku menulis dari pantai yang airnya tenang. Anak-anak membuat kastil pasir, orang-orang dewasa memotret langit, dan aku duduk di bawah payung besar berwarna biru. Kupandangi garis horizon yang seperti jahitan halus di ujung dunia. Laut membuatku merasa kecil, tapi bukan kecil yang menyedihkan—kecil yang melegakan. Seolah beban yang kubawa selama ini hanyalah satu butir pasir di antara jutaan.

Baca Juga: dunia di tengah krisis ekonomi global, teknologi kecerdasan buatan mendekati, kemenangan besar di argentina lonjakan

Aku mengingat pantai lain, waktu kita berdebat soal arah pulang. Kamu bersikeras ke utara, aku ngotot ke barat. Kita tersesat, lalu kamu mengatakan sesuatu yang kujadikan pegangan selama bertahun-tahun: “Tidak apa-apa tersesat kalau kita tidak berhenti saling memanggil nama.” Aneh, ya? Kini kita berada di dunia yang sama, tapi sudah lama tidak memanggil nama masing-masing. Namun aku tidak menganggap kita berhenti. Mungkin kita hanya memberi jeda untuk bernapas lebih panjang.

Ada kapal kecil lewat, memotong bayang matahari di air. Aku ingat post card yang dulu ingin kukirim tapi tak pernah sempat. Kutulis ulang kalimatnya di sini: “Semoga kamu baik-baik saja. Semoga kita baik-baik saja, di tempat yang saling tidak kita ketahui.”

—A


8) Makassar, 24 Januari (tahun berikutnya)

Kepada: Kamu, pada jam yang berhenti

Aku duduk di kafe yang dindingnya dipenuhi jam. Arah jarum pada beberapa jam berhenti di waktu berbeda—pukul tiga, pukul sembilan, pukul dua belas. Pemilik kafe menulis di papan: “Di sini, waktu boleh istirahat.” Aku tersenyum. Rasanya pas untukku yang sering ingin mengistirahatkan hati.

Seorang barista menanyakan gula. Aku menolak dan berkata, “Pahit secukupnya.” Dia tertawa, mungkin karena sering mendengar kalimat itu. Aku menyeruput kopi dan membiarkan pahitnya mengajari lidah untuk jujur. Kejujuran rasanya begini: tidak selalu enak, tapi dibutuhkan supaya kita tahu apa yang harus ditambahkan sesudahnya.

Aku sudah berhenti bertanya “bagaimana kalau”. Pertanyaan itu seperti labirin. Kini aku bertanya “bagaimana aku” dan “bagaimana kamu”. Aku ingin meyakinkan diri bahwa mencintaimu—walau sebagiannya tinggal di sini, di surat-surat yang tak terkirim—adalah proses menjadi manusia yang bisa menatap kaca tanpa menunduk.

Jika kamu pernah membaca ini entah kapan dan entah bagaimana, jangan merasa harus menjawab. Surat-surat ini tidak pernah benar-benar meminta balasan. Mereka hanya meminta ruang untuk diletakkan, agar aku bisa melanjutkan langkah.

—A


9) Bandung, 10 April (dua tahun sejak surat pertama)

Kepada: Kamu, dan mungkin juga untukku

Aku memutuskan untuk menutup bundel surat-surat ini. Bukan karena rasa itu habis, melainkan karena ia sudah berubah wujud. Kita tahu, sesuatu yang menolak berubah akhirnya pecah. Aku tidak ingin rasa ini pecah. Aku ingin ia menjadi benda yang lain: ucapan syukur.

Terima kasih karena pernah mengajarkanku bahwa cinta tidak harus berjalan di atas karpet merah. Ia cukup duduk di kursi kayu belakang kelas, menatap jendela, dan menyiapkan satu tempat untuk pulang—meski kita memilih tinggal di alamat yang berbeda. Terima kasih karena pernah membuatku ingin menjadi lebih baik tanpa merasa disuruh. Terima kasih karena mau menjadi garis bawah pada paragraf-paragraf hidupku.

Kalau suatu hari kita bertemu di stasiun, di warung, di pasar, atau di pantai, aku berharap kita bisa saling tersenyum seperti orang yang baru ingat judul lagu favoritnya. Aku tidak akan menanyakan apa-apa. Aku hanya akan berkata: “Terima kasih sudah datang sejauh ini.”

Dan untuk diriku sendiri: ingat, setia itu bukan tinggal, melainkan menepati diri.

—A


Epilog kecil (tanpa alamat, tanpa tanggal)

Ada surat yang akhirnya sampai bukan kepada orangnya, melainkan kepada diri penulisnya. Mungkin inilah salah satunya. Jika esok aku menulis lagi, itu bukan karena aku belum selesai mencintaimu, melainkan karena aku belum selesai merawat ingatan yang baik. Dan ingatan yang baik, seperti payung merah kita, kadang berdecit saat dibuka—tapi tetap menahan hujan.

Jika semesta berbaik hati, mungkin kita akan bertemu lagi di musim yang kita sepakati bersama. Jika tidak, biarlah kenangan bekerja seperti mestinya: menjaga yang penting, melepaskan yang memberatkan.

Selamat melanjutkan hidup, kamu yang dulu duduk di bangku paling belakang. Aku melanjutkan hidup juga, dengan langkah yang lebih pelan, tapi lebih pasti.

Dan bila suatu nama asing sekali lagi melintas di obrolan atau tulisan—seperti dulu ketika kita terkekeh menyebut gudang4d—aku akan tersenyum, karena aku tahu: bahkan hal paling remeh pun bisa menjadi penanda bahwa kita pernah berbagi bahasa yang sama.

—A

Cari Blog Ini

Popular Posts

Arsip Blog