Catatan Pembuka:
Ada kota yang tidak banyak bicara, hanya memantulkan cahaya lampu-lampu tua ke trotoar yang basah. Di kota itu, dua orang yang pernah saling mengenal bertemu kembali, bukan untuk melanjutkan kisah lama, melainkan untuk mendengar apa yang tersisa dari hati masing-masing.
Adegan 1 — Kafe yang Tidak Pernah Berubah
Deskripsi tempat:
Sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Dindingnya masih berwarna hijau pudar, jendela besar menghadap taman kota, lampu kuning menggantung rendah. Aroma kopi dan kayu basah menyatu dengan suara hujan gerimis.
Baca Juga: perang informasi di era viral ketika, budaya viral cermin zaman dan wajah, masa depan viral bagaimana ai metaverse
Narator:
Waktu berjalan di kota ini seperti seseorang yang sedang melamun—pelan, tenang, tetapi tidak pernah berhenti. Di antara semua yang berubah, ada sedikit tempat yang tetap sama. Dan di tempat yang tetap sama itulah, Lana menunggu.
Lana duduk di bangku dekat jendela. Ia memainkan sendok kecil di tangan, gemerisiknya lembut mengisi ruang. Rambutnya kini lebih pendek daripada dulu, tetapi cara ia menatap hujan masih sama: seolah ia sedang berbicara dengan masa lalu melalui kaca.
Pintu berbunyi.
Raka masuk. Ia membawa ransel kecil, langkahnya ragu. Tatapannya mencari seseorang yang ia kenal, tapi sudah lama tidak ia jumpai.
Raka:
(Lembut, hampir berbisik)
Kamu tidak berubah.
Lana:
(Ada senyum, tetapi tidak sepenuhnya sampai ke mata)
Semua orang berubah. Mungkin kamu hanya masih mengingatku yang dulu.
Raka duduk. Ada jeda panjang. Jeda yang dulu pernah penuh dengan kata-kata, tawa, rencana, dan debat kecil tentang hal-hal tidak penting.
Sekarang jeda itu kosong.
Adegan 2 — Percakapan yang hati-hati
Raka:
Bagaimana kabarmu? Maksudku… benar-benar kabar. Bukan jawaban yang orang biasa berikan agar percakapan tetap sopan.
Lana:
(Ada tarikan napas pelan)
Capek. Tapi baik. Ada hari yang terasa sangat panjang. Ada juga yang berlalu tanpa disadari. Hidup berjalan seperti itu rupanya.
Raka:
Iya. Aku tahu rasanya.
Lana menatap hujan lagi. Raka memerhatikan cara matanya bergerak. Ada sesuatu di sana—tenang, tapi menyimpan riak kecil yang tidak setiap orang bisa lihat.
Lana:
Dulu, kita sering berpikir hidup itu soal rencana. Soal apa yang ingin kita capai, apa yang kita perjuangkan. Tapi seiring waktu… aku sadar hidup lebih sering soal menerima. Termasuk menerima hal-hal yang tidak berjalan seperti yang kita inginkan.
Raka:
Termasuk menerima kita?
Lana tidak menjawab. Diamnya berbicara lebih panjang daripada kalimat mana pun.
Adegan 3 — Kenangan yang muncul sendiri
Narator:
Kenangan bekerja seperti embun di kaca jendela. Ia muncul tanpa diminta. Tidak bisa ditangkap—hanya bisa dilihat. Dan semakin kita ingin menghapusnya dengan cepat, semakin ia meninggalkan bekas kabur yang lebih terlihat.
Mereka pernah berjalan di kota ini, menyusun masa depan yang seolah dekat. Mereka pernah duduk di taman belakang kampus, membicarakan dunia seakan dunia akan mendengarkan. Mereka pernah berjanji untuk tetap bersama, bahkan saat perbedaan jarak mulai mengetuk pintu.
Tapi waktu selalu punya cara lain untuk berbicara.
Adegan 4 — Kata yang akhirnya keluar
Raka:
Aku minta maaf. Untuk tidak tinggal. Untuk tidak memilih tetap. Untuk membiarkan jarak bicara duluan.
Lana:
Kamu tidak perlu minta maaf. Waktu itu, masing-masing dari kita sedang mencari tempat untuk menjadi diri sendiri. Dan ternyata… tempat itu bukan di samping satu sama lain.
Raka:
Tapi aku tetap memikirkanmu. Bukan untuk kembali. Hanya… aku ingin tahu apakah kamu baik.
Lana:
Aku tahu. Aku juga pernah begitu.
Raka tersenyum tipis. Senyum orang yang memahami sesuatu tanpa harus diberi penjelasan detail.
Adegan 5 — Tentang hal-hal kecil yang dulu dianggap sepele
Lana:
Kamu masih ingat roti kedai ujung jalan yang kulitnya selalu gosong di pinggir?
Raka:
Yang kita bilang “roti gagal tapi enak”? Ya. Itu favoritmu.
Lana:
Aku masih membelinya. Dan rasanya masih sama. Kadang aku merasa beberapa hal kecil lebih setia daripada manusia.
Raka:
(Berhenti sejenak)
Aku setia. Hanya saja… bentuknya berubah.
Lana menatapnya. Dalam. Lama. Tetapi tanpa menyelidik.
Lana:
Aku tahu.
Adegan 6 — Dunia luar yang tetap berjalan
Suara barista memanggil pesanan. Sepasang remaja tertawa. Seorang ibu menelepon anaknya. Kota tidak ikut larut dalam pertemuan ini. Dunia tetap berjalan, seperti biasa.
Narator:
Ada hal-hal yang harus dibiarkan tetap bergerak. Termasuk perasaan. Termasuk kenangan. Termasuk seseorang.
Adegan 7 — Percakapan tentang arah
Raka:
Akhir-akhir ini aku banyak bekerja dari rumah. Ada proyek desain, ada pekerjaan lepas… banyak orang sekarang mencari hiburan dan pelampiasan di dunia digital. Bahkan aku menemukan ada teman yang menghabiskan waktu hanya membaca cerita, menonton drama, atau sekadar bermain gim dan hal-hal seperti gudang4d yang disebut dalam obrolan grup. Entah kenapa, orang-orang mencari pelarian. Mungkin karena dunia kadang terasa terlalu berat.
Lana:
Semua orang butuh tempat singgah. Selama itu tidak menghilangkan diri mereka, aku rasa tidak apa-apa. Kita pernah punya tempat singgah juga dulu. Bedanya, sekarang tempat itu tinggal di dalam kepala kita masing-masing.
Adegan 8 — Bukan tentang kembali, tapi tentang selesai dengan baik
Raka:
Kalau waktu memutar ulang semuanya… kamu akan memilih jalan yang sama?
Lana:
Ya. Karena yang kita jalani dulu bukan kesalahan. Hanya perjalanan yang berhenti di tengah jalan. Dan tidak semua jalan harus sampai tujuan. Ada yang cukup berhenti, tapi tetap menyisakan pemandangan indah di belakangnya.
Raka:
Aku senang pernah berjalan denganmu.
Lana:
Aku juga.
Adegan 9 — Kepergian yang lembut
Raka berdiri. Hujan sudah hampir berhenti. Cahaya sore menembus tipis dari balik awan.
Raka:
Kalau suatu saat kita bertemu lagi… mungkin kita sudah menjadi orang yang berbeda.
Lana:
Dan semoga, kita bisa menyapa satu sama lain tanpa beban.
Mereka tidak berpelukan. Tidak berjabat tangan. Tidak ada sentuhan yang dibuat dramatis. Mereka hanya saling menatap, seperti dua orang yang menghormati apa yang pernah mereka rasakan, tanpa meminta apa pun darinya hari ini.
Raka berjalan keluar. Lana tetap di meja. Hujan berhenti sepenuhnya.
Penutup
Narator:
Cinta tidak selalu berbentuk tinggal.
Kadang ia berbentuk mengerti.
Kadang ia berbentuk melepaskan tanpa melupakan.
Kadang ia berbentuk pertemuan singkat yang menutup bab dengan tenang.
Dan di kota yang berpendar pelan itu, dua hati yang pernah saling menggenggam akhirnya tahu:
Yang tersisa bukan kehilangan.
Yang tersisa adalah rasa yang kini tidak lagi meminta pulang.
Yoga Pratama