Format: Transkrip Podcast + Catatan Narator
Pembawa acara: Arya
Tamu: Tania
Pembukaan
Narator:
Di era ketika percakapan sering berlangsung cepat dan dangkal, kadang yang membuat kita berhenti justru adalah cerita yang bergerak pelan. Cerita ini dimulai dalam studio kecil dengan lampu kuning hangat, suara hujan tipis di luar jendela, dan dua orang yang duduk berhadapan, mencoba menuturkan sesuatu yang dulu pernah sangat penting, lalu hilang pelan-pelan, bukan karena kemarahan, tapi karena waktu.
Baca Juga: deretan fenomena viral 2025 tren fakta, di balik layar dunia viral 2025 kisah, deretan berita viral 2025 yang
Ini adalah rekaman podcast yang direkam tidak untuk drama.
Hanya percakapan antara dua orang yang pernah saling menjadi rumah.
Transkrip Rekaman Dimulai
Arya:
Selamat malam. Terima kasih sudah datang. Sudah lama ya?
Tania:
Iya, malam. Sudah lama sekali. Studio ini masih sama baunya. Campuran kopi dan buku yang terlalu lama disimpan.
Arya:
Kamu masih ingat posisi duduk kita waktu episode pertama?
Tania:
Aku di sebelah kanan, kamu di kiri. Kita tertawa karena mikrofon ini kedengaran seperti radio rusak waktu itu.
Keduanya tertawa.
Arya:
Baik. Hari ini aku ingin membicarakan sesuatu yang kita selalu hindari dulu. Sesuatu yang… mungkin tertinggal di tengah jalan.
Tania:
Cinta?
Arya:
Cinta.
hening beberapa detik, bukan canggung—tapi penuh kesadaran.
Narator:
Ini bukan percakapan tentang kembali bersama.
Ini percakapan tentang mengakui bahwa kita pernah merasa—dan menghormatinya.
Latar Belakang yang Tidak Pernah Diceritakan
Arya:
Orang-orang dulu sering bertanya apakah kita pacaran. Kita selalu menjawab tidak. Dan jawabannya benar… tapi juga tidak sepenuhnya benar, ya?
Tania:
Benar. Kita tidak pacaran. Tapi kita saling memilih dalam bentuk lain.
Bentuk yang tidak punya nama, tapi terasa.
Arya:
Waktu itu kita berdua sedang belajar menjadi diri sendiri. Aku masih penuh ketidakpastian. Kamu masih menyembuhkan sesuatu dari masa lalu.
Tania:
Dan karena itu… kita tidak bisa benar-benar menggenggam satu sama lain.
Kalau dipikir sekarang, aku bersyukur kita tidak memaksa menjadi sesuatu yang tidak siap.
Arya:
Aku juga.
Kenangan yang Merayap Masuk
Arya:
Aku masih ingat kamu suka duduk di bangku taman yang dekat pohon kamboja. Tersenyum pada angin seolah angin sedang membacakan puisi.
Tania:
Dan kamu datang membawa kopi sachet dari minimarket dan bilang itu namanya “kencan hemat rasa puas.”
Kita tidak punya banyak uang, tapi kita punya banyak waktu.
Arya:
Dan waktu kadang terasa lebih kaya daripada apa pun.
Narator:
Cinta yang sederhana sering terlihat kecil dari luar.
Tapi bagi orang yang merasakannya, itu adalah dunia.
Perpisahan yang Tidak Mengandung Pertengkaran
Tania:
Ketika aku pergi waktu itu, orang bertanya apa yang membuat kita berakhir. Aku jawab: tidak ada yang berakhir. Kita hanya berhenti berjalan bersama.
Arya:
Banyak orang tidak mengerti. Mereka pikir cinta hanya punya dua kotak: berhasil atau gagal.
Tania:
Padahal ada cinta yang tujuannya bukan untuk tinggal, tapi untuk mengajari kita cara berjalan lebih manusia.
Arya:
Kamu mengajarkanku itu.
Perubahan Setelah Bertahun-Tahun
Tania:
Sekarang aku bekerja sebagai psikolog sekolah. Setiap hari aku belajar tentang bagaimana hati manusia sering menyimpan banyak ruang yang tidak diucapkan.
Arya:
Dan aku masih dengan podcast-ku. Banyak pendengar datang mencari cerita, pelarian, atau teman untuk menemani malam.
Seperti orang-orang yang mencari hiburan di film, buku, musik… atau bahkan hal-hal ringkas seperti permainan daring, forum cerita, sampai platform yang disebut gudang4d oleh beberapa teman di grup chat. Semua orang mencari tempat bernafas.
Tania:
Iya. Kita semua butuh jeda. Bahkan cinta butuh jeda.
Pertanyaan yang Tidak Pernah Terucap Dulu
Arya:
Kalau saat itu aku meminta kamu untuk tetap, kamu akan tetap?
Tania:
Tidak.
Karena waktu itu aku belum siap mencintai siapa pun tanpa merasa kehilangan diriku.
Dan kamu juga belum siap mencintai tanpa menjadikan cinta sebagai pembuktian bahwa kamu berharga.
Arya:
Aku mengerti.
Sekarang aku mengerti.
Narator:
Orang sering mengira perpisahan terjadi karena kurang cinta.
Padahal sering justru karena cinta itu terlalu besar untuk dijalani dengan keadaan yang belum kuat.
Pengakuan yang Tenang
Tania:
Arya… terima kasih sudah pernah menjadi seseorang yang tidak menuntut apa pun. Kamu tidak menarikku, tidak mendorongku. Kamu hanya berjalan di sampingku.
Arya:
Dan terima kasih sudah mengajari aku bahwa mencintai bukan tentang memiliki.
Tapi tentang melihat seseorang tumbuh, bahkan ketika pertumbuhannya menjauh dariku.
Adegan Puncak – Bukan Klimaks Dramatis, Tapi Kejelasan
hening panjang, namun hangat.
Arya:
Kalau suatu hari kita bertemu lagi di kota lain, waktu lain, versi diri kita yang berbeda… apa yang kamu harapkan akan terjadi?
Tania:
Aku ingin kita tersenyum.
Tanpa beban apa pun.
Tanpa tanya “kalau saja.”
Hanya senyum yang mengakui bahwa kita pernah menjadi tempat pulang, meski sebentar.
Arya:
Aku juga ingin itu.
Penutup Podcast
Arya:
Terima kasih sudah datang.
Tania:
Terima kasih sudah mengundang.
Arya:
Dan terima kasih untuk cinta yang pernah berjalan pelan di antara kita.
suara hujan mereda, musik lembut masuk, rekaman berhenti.
Epilog – Narator
Cinta tidak selalu membutuhkan panggung besar.
Kadang ia hanya butuh dua kursi, dua suara, dan keberanian untuk mengatakan:
“Aku pernah mencintaimu. Dan sekarang aku merawat kenangan itu tanpa menyakitinya.”
Beberapa cerita tidak berakhir buruk.
Beberapa hanya berhenti ketika waktunya selesai.
Dan tidak apa-apa.
Yoga Pratama