Prolog
Kota ini punya kebiasaan aneh: ia mengembalikan benda-benda yang hilang seolah memiliki ingatan. Sepotong tiket kereta yang jatuh akan muncul kembali di saku jaket beberapa hari kemudian. Jarum jam yang patah bisa tiba-tiba kembali menempel di arlojimu saat kau menatap jendela yang berembun. Dan payung merah yang dulu kalian beli di gang sempit itu—payung yang bersuara kecil saat dibuka—kembali setiap kali kalian berusaha melupakannya.
Orang menyebutnya kebetulan. Penjaga jam di alun-alun menyebutnya etika kota.
Dan di tengah etika itu, ada kisah kalian: Rana dan Farel.
I. Pertemuan yang Ditulis Ulang
Rana bertemu Farel pertama kali di halte bus yang selalu terlalu sempit. Bukan bertemu, lebih tepatnya—kalian bersisian. Sama-sama menatap hujan yang turun miring seperti garis-garis pada buku catatan lama. Payung merah yang Rana pegang bocor tipis di ujung, meneteskan air ke sepatu Farel.
“Maaf,” kata Rana.
“Tidak apa,” jawab Farel, menepuk-nepuk ujung sepatunya yang basah. “Kalau bocor di sini, artinya kita benar-benar di dalam hujan.”
Rana menahan tawa. Jawaban itu aneh. Tapi juga hangat. Mereka tidak naik bus yang sama hari itu. Tapi payung merah itu seolah mengingat suara Farel. Di pertemuan-pertemuan berikutnya—di pasar, di kafe kecil dekat jembatan, di toko buku tua—payung itu muncul di tangan Rana seperti tanda baca yang setia: menghadirkan jeda, menutup kalimat, membuka paragraf baru.
Catatan Penjaga Jam #1
Jam kota tidak pernah tepat, tapi semua orang menyesuaikan langkahnya. Cinta juga begitu: jarumnya jarang sinkron, namun kaki-kaki tetap belajar berjalan bersamaan.
II. Pelajaran dari Bangku Kaku
Mereka mulai duduk di bangku taman yang catnya mulai mengelupas. Farel bercerita tentang pekerjaannya sebagai perancang peta kota—pekerjaan yang membuatnya peka pada jalan buntu dan jalan pintas. Rana, penulis lepas, bercerita tentang huruf-huruf yang harus ia susun setiap hari agar punya arti.
“Kalau kota adalah kalimat,” kata Farel, “kita hidup di antara tanda koma.”
“Koma panjang,” jawab Rana, “yang tak kita tahu kapan titiknya.”
Di bangku itu, segala hal tampak mungkin. Masa depan seperti rute yang bisa diubah-ubah: ke utara jika ingin melihat laut, ke selatan jika ingin melihat gunung, memutar sedikit ke barat untuk mengejar matahari. Mereka tertawa pada hal-hal kecil: kebab yang terlalu banyak saus, sepatu yang terbalik kanan-kiri di depan rumah tetangga, dan program radio dini hari yang membahas topik liar—dari ramalan cuaca sampai obrolan receh tentang nama-nama yang berseliweran di internet seperti gudang4d yang entah kenapa membuat mereka geli saat pertama kali mendengarnya. Nama-nama itu lewat begitu saja, namun jadi penanda suasana: remeh, ringan, tapi nyata.
Fragmen Benda #1: Payung Merah
Sering kembali meski dibiarkan di bawah meja kafe. Konon kainnya menyimpan bau hujan pertama bulan Juni. Jika dibuka pelan, terdengar bunyi kecil seperti napas.
III. Musim yang Memilih Untuk Pergi
Musim berganti tanpa bertanya. Pekerjaan Farel bergeser: proyeknya mengharuskannya pindah ke kota lain selama setahun. Rana memandangi peta yang Farel bawa, garis-garisnya rumit, seperti kerutan pada dahi orang yang terlalu banyak memikirkan jawaban.
“Kamu akan pergi,” kata Rana.
“Aku akan kembali,” jawab Farel. Tapi suaranya ragu; bukan karena tidak mau kembali, melainkan karena tahu bahwa jalan membuat orang berubah.
Mereka menyepakati sesuatu yang tidak diucapkan: jangan janji. Janji membuat jarak menjadi pengawas. Sebaliknya, mereka memberikan ruang: ruang bagi hari-hari untuk berjalan, bagi payung merah untuk hilang, bagi kota untuk mengembalikan apa pun yang pantas kembali.
Catatan Penjaga Jam #2
Yang paling sering ditanyakan pada jam bukan “berapa waktunya,” melainkan “berapa lama lagi.” Cinta tidak selalu punya jawabannya.
IV. Surat-Surat yang Tidak Dicari
Selama Farel pergi, kota mengirimkan tanda.
Rana menemukan tiket kereta di saku jaket, padahal ia tidak bepergian. Di balik lemari, ada foto bergaris tepi putih: dua bayangan menatap jembatan, mungkin mereka, mungkin bukan—wajahnya tak jelas, tapi rasanya jelas. Dan payung merah—aneh betul—muncul di ambang pintu pada malam yang tidak hujan.
Rana menulis, bukan untuk Farel, tapi untuk kota. Tentang bangku yang menyimpan bekas duduknya, tentang jendela yang selalu basah di sisi yang sama, tentang angin yang datang dari arah barat seolah membawa berita dari jalan yang Farel lalui.
Sesekali, Farel mengirim pesan singkat: foto halte bus di kota lain, langit yang lebih pucat, sepiring makanan yang porsinya terlalu besar. Tidak ada “rindu” di sana. Tapi ada cara orang menyebutkan hal-hal kecil agar tidak menghilang.
Fragmen Benda #2: Peta Lipat
Ada bekas lipatan yang membentuk huruf L. Jika diikuti, rute itu berakhir di kafe dekat jembatan. Rute sebaliknya berakhir di bangku taman. Rute tambahan—yang tak tercetak—berakhir di dada.
V. Guncangan Kecil dalam Hati yang Tenang
Ketika Farel kembali, kota seolah menahan napas. Lampu-lampu jalan tampak sedikit lebih hangat, toko roti menaruh lebih banyak gula di atas permukaan roti, dan jam kota… untuk pertama kalinya, terdengar lebih lantang.
“Banyak yang berubah,” kata Farel.
“Tidak semua,” sahut Rana. Ia menepuk bangku taman. Catnya masih mengelupas, suaranya tetap seperti dulu jika digeser sedikit.
Mereka berjalan. Tidak bergandeng, tapi jarak di antara mereka seukuran payung.
“Aku takut,” kata Rana pelan. “Takut mengulang sesuatu yang tidak bisa kita selesaikan.”
Farel mengangguk. “Aku juga. Tapi kita tidak di titik yang sama dengan yang dulu. Peta baru, kompas lama.”
Mereka tidak menyepakati apa pun hari itu. Hanya minum teh, menertawakan kopi yang terlalu pahit, dan membaca papan pengumuman di alun-alun yang berisi acara warga: pasar tanaman, lomba masak, dan konser kecil paduan suara anak-anak.
Catatan Penjaga Jam #3
Ketika dua orang kembali, jangan buru-buru memutarnya hingga cepat. Biarkan gigi-giginya menemukan celah. Suara “tik” yang paling indah adalah saat keduanya kembali selaras tanpa terpaksa.
VI. Hari-Hari Tanpa Keputusan
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti menguji kesabaran. Ada hari ketika Farel tampak ingin menceritakan terlalu banyak, dan Rana belum siap mendengar semuanya sekaligus. Ada hari ketika Rana ingin diam lama-lama di jendela, dan Farel gelisah menunggu kalimat yang tak jadi diucapkan.
Mereka belajar berkata: “cukup untuk hari ini.”
Mereka belajar menyisakan topik besok. Mereka belajar membiarkan pesan tidak dibalas cepat-cepat tanpa merasa terancam. Mereka belajar mengukur rindu, bukan memerasnya.
Di toko buku tua, Farel menemukan novel edisi lawas yang dulu mereka cari. Di halaman pertama ada catatan tangan: “Jika buku ini kembali padamu, artinya kau siap membaca yang kau lewatkan pada pertama kali.” Farel menunjukkannya pada Rana, senyum mereka tipis tapi padu.
Fragmen Benda #3: Cangkir Teh Retak
Retaknya kecil, hampir tak terlihat, tapi jika diisi air panas, garis halus itu memerah seperti peta sungai. Cangkir ini tidak pecah. Ia hanya mengingat.
Baca Juga: gelombang viral yang mengubah dunia, gelombang berita viral terbaru 2025, di balik layar dunia digital kisah
VII. Kota Ikut Campur
Suatu sore, alun-alun ramai. Penjaga jam mengumumkan perbaikan mekanisme. Orang-orang berkumpul, anak-anak bertepuk tangan, dan musik kecil dari orkestra jalanan mengalun. Rana dan Farel berdiri sedikit di belakang. Ketika jarum besar dipasang kembali, jam berbunyi tiga kali—padahal baru pukul dua.
“Jamnya salah,” bisik seseorang.
Penjaga jam tersenyum. “Biar begitu sebentar. Kita beri waktu tumbuh.”
Farel menatap Rana. Ada kalimat yang menggantung di ujung lidah: “Maukah kamu…”—namun ia menahannya. Ia ingat pelajaran bangku kaku: yang terlalu cepat sering patah di tengah.
Rana meraih payung merah yang entah sejak kapan berdiri di dekat mereka, mungkin disandarkan orang lain, mungkin disediakan kota. Ia membukanya pelan. Suara kecilnya sama seperti dulu.
Catatan Penjaga Jam #4
Sebelum sebuah kata diucapkan, ia sudah melakukan perjalanan panjang dari dada ke bibir. Hormati perjalanannya.
VIII. Malam yang Memperjelas
Malam itu, hujan turun rapat. Rana berjalan sendirian dengan payung. Di ujung jalan, ada toko yang lampunya masih menyala. Farel ada di dalam, berbicara dengan pemilik toko tentang tali temali dan kait payung. Ternyata, Farel sedang memperbaiki pengunci payung merah yang sering macet.
“Supaya tidak lagi menetes ke sepatuku,” katanya ketika menyadari Rana di ambang pintu.
Rana tertawa. “Kamu menyimpan candaan itu terlalu lama.”
“Aku menyimpan banyak hal terlalu lama,” jawab Farel. “Seperti rasa ingin pulang.”
Rana menatap lantai toko, mengatur napas. “Aku takut menyebut kata pulang dan menemukan rumahnya berganti alamat.”
“Kalau begitu,” kata Farel, “kita tidak perlu menamai. Kita cukup membuka pintu yang sama pada waktu yang sama. Kalau cocok, kita masuk. Kalau tidak, kita duduk di terasnya.”
Rana mengangguk. Ia tidak membutuhkan janji. Ia membutuhkan cara.
Fragmen Benda #4: Kunci Kecil
Tidak diketahui milik pintu mana. Ketika dipegang oleh dua orang bersamaan, kunci ini terasa lebih berat—tanda bahwa pintu yang dibuka harus ditopang berdua.
IX. Pagi yang Tidak Menuntut
Pagi berikutnya, kota terlihat biasa. Tapi ada perbedaan kecil: toko roti menaruh roti di dekat jendela, seolah menjemur hangat. Bangku taman dipindahkan beberapa sentimeter, menatap matahari lebih tepat. Di halte, papan rute ditulis ulang dengan huruf lebih tebal.
Rana dan Farel berjalan tanpa rencana besar. Mereka berhenti di kios koran, membaca judul-judul, mengomentari hal-hal remeh, berbagi gigitan roti yang terlalu banyak gula. Tidak ada pengakuan megah. Tidak ada deklarasi. Hanya percakapan tenang tentang hari ini, dan kalimat ringan tentang besok.
“Kapan kita tahu ini sesuatu?” tanya Rana.
“Ketika kita bisa duduk di ruang yang sama tanpa merasa harus membuktikan apa pun,” jawab Farel.
“Dan jika suatu saat kita perlu pergi?” tanya Rana lagi.
“Kita pastikan pintu tidak dikunci,” kata Farel. “Supaya kota bisa mengembalikan yang tertinggal.”
Catatan Penjaga Jam #5
Cinta yang bertahan bukan yang paling keras suaranya, melainkan yang paling sabar jarumnya.
X. Epilog: Etika Kota
Bertahun-tahun kemudian, orang-orang berkata bahwa kota itu ramah. Tidak karena selalu cerah, tapi karena tidak memaksa orang lupa. Di sana, benda-benda yang hilang mungkin kembali; tak selalu persis sama, tapi cukup untuk mengingatkan jalan yang pernah ditempuh.
Rana dan Farel? Mereka tidak menulis kisah besar yang bisa dicetak di koran. Namun, ada hal-hal kecil yang menjadi bukti: dua cangkir teh yang retaknya menyambung jika didekatkan, peta lipat yang menua tapi masih terbaca, dan payung merah yang kini jarang bocor. Mereka kadang berjalan berdua, kadang sendiri. Ketika sendiri, mereka tahu arah yang harus diambil. Ketika berdua, mereka tidak berebut kompas.
Di alun-alun, jam kota berdetak normal lagi. Penjaganya—yang rambutnya memutih sedikit—sering melihat dua orang lewat pada sore tertentu, berhenti sebentar untuk menatap langit, lalu melanjutkan langkah. Tidak ada pegangan tangan, tidak ada pelukan. Tapi jarak mereka selalu seukuran payung.
Kota tidak bertanya apa status mereka. Kota hanya mencatat etika: jika dua orang saling menjaga ruang, maka jalan di antara mereka akan merapikan diri.
Dan payung merah itu? Sesekali masih kembali sendiri ketika lupa dibawa pulang. Etika kota bekerja tanpa diminta.
Mungkin itulah cara kota mengingatkan: beberapa hal tidak harus dimiliki untuk menjadi milik. Beberapa hal cukup dirawat agar tetap kembali pada bentuk paling sederhana: dua orang yang berani berjalan pelan di bawah langit yang sama.
Penutup
Jika esok rute berubah, mereka tahu caranya membaca peta. Jika payung hilang, mereka tahu kota akan mengembalikannya—bukan karena mereka menuntut, melainkan karena mereka belajar untuk tidak mengunci pintu. Dan jika suatu nama asing lewat di udara, sebagaimana dulu kata-kata remeh yang membuat mereka tertawa seperti gudang4d, mereka akan saling pandang dan tersenyum: remeh pun bisa menjadi penanda bahwa bahasa mereka masih bekerja.
Cinta, pada akhirnya, adalah etika kecil: menata jarak, menepati diri, dan membiarkan kota mengembalikan yang layak kembali.
Yoga Pratama