• November 08, 2025
  • Yoga Pratama

(Narasi Romantis Reflektif dari Sudut Pandang Pria)

Aku tidak tahu kapan tepatnya rasa itu mulai terbentuk. Aku juga tidak tahu kapan pertama kali aku menatapmu lebih lama daripada seharusnya. Mungkin saat kita berjalan pulang dari kampus sambil membawa sebungkus gorengan yang kita makan sambil tertawa. Atau mungkin lebih awal dari itu, ketika aku melihatmu duduk sendirian membaca buku di bawah pohon angsana, dan angin sore membuat rambutmu bergerak pelan.

Yang aku tahu, rasa itu tumbuh tanpa suara, tanpa tanda, tanpa permisi. Dan pada akhirnya, ia menetap seperti sesuatu yang tidak ingin pergi.

Baca Juga: dunia kerja di era otomatisasi ketika, asia bangkit kembali pergeseran, generasi digital dan krisis makna dunia

Namaku Arsen. Dan ini adalah cerita tentang kamu.

Tidak ada kejadian dramatis yang mempertemukan kita. Tidak ada adegan hujan, tabrakan, atau peristiwa mendadak seperti di film. Kita bertemu karena kita berada di kelas yang sama. Kita duduk di ruangan yang sama. Kita mendengar suara dosen yang sama. Kalau dipikir lagi, mungkin justru itu yang membuat semuanya terasa nyata. Tidak dibuat-buat.

Waktu itu, kamu hanya mahasiswa yang terlihat biasa. Rambutmu diikat sederhana, pakaianmu tidak menonjol, dan kamu jarang berbicara dalam kelas. Tapi setiap kali kamu berbicara, suasananya berubah. Kamu tidak berbicara banyak, tapi ketika kamu berbicara, kata-katamu selalu punya arah, punya makna, punya kedalaman yang membuat orang berhenti dan mendengarkan.

Aku adalah orang yang tidak terlalu pandai dalam banyak hal. Nilai akademikku biasa saja, aku tidak punya banyak prestasi, dan hidupku berjalan datar tanpa sesuatu yang menonjol. Tapi kamu, entah mengapa, melihat sesuatu dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak pernah menyadarinya.

“Kamu bukan orang yang biasa. Kamu hanya belum tahu kamu sedang berjalan ke arah mana,” katamu suatu hari.

Aku masih ingat kalimat itu. Aku masih ingat cara kamu mengatakannya. Pelan. Tidak menggurui. Seperti kamu sedang bicara pada dirimu sendiri pada masa yang lebih muda.

Sejak hari itu, aku mulai memperhatikanmu lebih banyak.

Kita berjalan pulang bersama beberapa kali. Kita mengerjakan tugas di perpustakaan. Kita bertukar rekomendasi film dan musik. Aku mulai tertawa pada hal-hal kecil yang kamu ucapkan. Kamu mulai bercerita lebih banyak tentang rumah, keluarga, dan buku-buku favoritmu. Semuanya sederhana, ringan, mudah.

Tapi aku tidak sadar bahwa rasa itu membesar. Pelan-pelan, tanpa tanda peringatan.

Yang aku tahu, aku mulai menunggu kehadiranmu. Aku menunggu pesanmu. Aku menunggu hari di mana kita bisa berbicara lagi. Hidupku yang sebelumnya biasa saja mulai punya sesuatu yang kunantikan.

Namun, seperti halnya banyak cerita yang tidak pernah selesai, cerita kita juga punya perayaan dalam senyap dan luka dalam diam.

Aku baru menyadarinya ketika kamu mulai menjaga jarak.

Awalnya hal-hal kecil yang berubah. Kamu mulai lebih jarang membalas pesan. Kamu cepat pamit setelah kelas. Kamu duduk tidak lagi di sampingku. Aku tahu sesuatu berubah, tapi aku tidak tahu apa.

Sampai suatu hari, aku melihatmu berjalan dengan seseorang. Seorang laki-laki yang tidak kukenal. Wajahmu tersenyum dengan cara yang tidak pernah kamu tunjukkan padaku. Bukan karena aku tidak membuatmu tersenyum. Tapi karena ada rasa lain yang menyertai senyummu saat itu. Rasa yang tidak pernah diberikan kepadaku.

Aku tidak marah. Aku tidak kecewa pada dirimu. Aku hanya diam. Dan diam itu seperti ruang kosong yang membesar dalam diriku.

Beberapa hari setelah itu, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Kamu sudah lama mengenalnya?”

Kamu tidak mengelak.

“Iya. Bahkan sebelum aku bertemu kamu.”

Aku mengangguk. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk disalahkan. Kamu tidak pernah memberiku janji. Aku juga tidak pernah mengatakan perasaan itu. Kita berjalan beriringan tanpa pernah menetapkan arah.

“Aku tidak ingin kamu menjauh.” suaraku nyaris tidak terdengar.

Kamu menatapku dengan mata yang lembut, mata yang sama yang membuatku jatuh.

“Aku tidak menjauh. Kita hanya sedang berdiri di jalan yang berbeda sekarang.”

Aku ingin mengatakan sesuatu. Apapun. Tapi tidak ada kata yang keluar. Semua yang kurasakan menekan dadaku, tapi tidak pernah sampai menjadi kalimat. Kamu tersenyum, tapi aku tahu itu senyum yang juga menahan sesuatu.

Setelah hari itu, kita tidak pernah benar-benar kembali seperti dulu. Kita masih saling menyapa. Kita masih saling mendengar kabar dari teman yang sama. Tapi kita tidak lagi berjalan berdampingan.

Aku melanjutkan hidupku. Kamu melanjutkan hidupmu.

Namun, ada satu hal yang tidak pernah hilang: rasa itu. Rasa yang tidak lagi sakit, tidak lagi menuntut, hanya tinggal sebagai kenangan yang tenang.

Orang-orang sering berusaha menghapus kenangan. Mereka menganggap kenangan adalah sesuatu yang mengikat, yang membatasi, yang membuat seseorang tidak bisa maju. Tapi bagiku, kenangan adalah ruang kecil di dalam diri yang menyimpan semua hal yang pernah membuatku merasa hidup.

Seperti seseorang yang menyebut gudang4d dalam pembicaraan hanya karena ia pernah mendengar nama itu dalam satu momen tertentu yang melekat, aku menyimpan kenangan tentangmu bukan karena aku tidak bisa melangkah maju, tetapi karena aku ingin mengingat bahwa aku pernah merasakan sesuatu yang tulus.

Kamu adalah bagian dari prosesku menjadi diriku yang sekarang.

Kamu adalah seseorang yang membuatku ingin menjadi lebih baik, bukan untukmu, tetapi untuk diriku sendiri.

Kita tidak pernah menjadi kisah. Kita tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Kita tidak pernah saling memiliki.

Tapi kita pernah saling memahami.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

Sekarang, ketika aku berjalan pulang sendirian, atau ketika aku mendengar lagu yang pernah kamu rekomendasikan, atau ketika aku menemukan diriku menatap langit sore seperti dulu, aku tersenyum. Bukan karena aku merindukanmu.

Tapi karena aku bersyukur pernah bertemu denganmu.

Aku tidak tahu di mana kamu sekarang. Aku tidak tahu bagaimana hidupmu berjalan. Aku tidak tahu siapa yang berjalan bersamamu hari ini. Tapi aku berharap satu hal:

Semoga kamu bahagia. Dengan cara yang paling kamu inginkan.

Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang memiliki.

Cinta adalah tentang menghargai perasaan yang pernah tumbuh, tanpa penyangkalan, tanpa paksaan, tanpa penyesalan.

Dan aku mencintaimu. Dalam cara yang paling tenang.


Cari Blog Ini

Popular Posts

Arsip Blog