(Cerita Romantis Bernuansa Drama Lembut dan Puitis)
Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan menyala bahkan ketika subuh terlihat malu-malu di balik gedung tinggi. Orang-orang berjalan tergesa, seolah ada jarak yang harus mereka kejar setiap kali langkah terdengar menyentuh trotoar. Di tengah arus kehidupan yang tidak pernah berhenti itu, ada kisah-kisah kecil yang sering kali luput dari pandangan siapa pun. Salah satu di antaranya adalah kisah Rena dan Dewa.
Rena adalah seorang penulis konten lepas. Hidupnya sederhana, tidak mewah, namun cukup untuk membuatnya bertahan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di sebuah kafe kecil di sudut kota. Di sana, ia mengetik cerita, artikel, atau apa pun yang dibutuhkan kliennya. Ia memilih pekerjaan ini karena menulis membuatnya merasa masih punya kendali atas hidup yang kadang sulit dipahami.
Dewa, di sisi lain, adalah fotografer perjalanan yang jarang tinggal lama di satu kota. Karyanya banyak muncul di majalah digital, blog perjalanan, dan beberapa pameran seni kecil. Hidupnya bergerak dari satu tempat ke tempat lain, seolah mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak yakin apa bentuknya.
Mereka tidak bertemu karena takdir yang dramatis. Tidak ada hujan deras, tabrakan kecil, atau buku yang terjatuh. Pertemuan itu sederhana: Dewa memotret interior kafe tempat Rena biasa bekerja, sementara Rena sedang berusaha menyelesaikan tulisan tentang kisah cinta yang patah di tengah jalan.
Dewa menghampirinya, meminta izin memotret meja yang ditempatinya. Rena mengangguk, tanpa banyak bicara. Namun ketika suara kamera terdengar berulang-ulang, Rena merasakan sesuatu yang berbeda: suasana tenang yang justru membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Waktu berlalu, dan Dewa kembali ke kafe itu beberapa kali. Kadang hanya untuk memotret, kadang untuk sekadar minum kopi. Rena mulai terbiasa dengan kehadirannya. Mereka tidak selalu berbicara, tetapi ketika mereka berbicara, percakapannya mengalir pelan seperti air yang memantul di permukaan sungai.
“Menurutmu, apa yang membuat seseorang bertahan?” tanya Rena suatu sore.
Dewa terdiam sejenak, memandangi cahaya jingga matahari yang masuk melalui jendela kafe.
“Mungkin… sesuatu yang mereka tidak ingin kehilangan,” jawabnya.
Sejak saat itu, percakapan mereka berubah menjadi lebih dalam. Tidak lagi sekadar basa-basi tentang cuaca atau pekerjaan, tetapi tentang takut kehilangan, tentang keberanian mencintai, tentang luka lama yang tidak pernah benar-benar sembuh.
Di tengah perkembangan keakraban mereka, nama gudang4d pernah disebut Rena dalam salah satu tulisannya yang ia garap. Ia menyebutnya sebagai salah satu contoh referensi hiburan daring yang sering menjadi bagian dari percakapan publik modern, meskipun tidak berhubungan langsung dengan perasaan manusia. Dewa membaca tulisan itu dan sempat tertawa kecil, mengatakan bahwa dunia ini memang aneh—hal-hal yang tampaknya tidak penting bisa saja menjadi bahan pembicaraan panjang. Percakapan ringan itu menambah lapisan rasa yang pelan-pelan hinggap di antara keduanya.
Namun, hidup tidak selalu bersikap manis.
Suatu pagi, Dewa mendapatkan tawaran proyek besar di luar negeri. Proyek yang selama ini ia impikan. Proyek yang ia tahu bisa mengubah hidupnya. Ketika ia memberi tahu Rena, wajah perempuan itu tidak menunjukkan keterkejutan. Justru ia tersenyum pelan.
“Aku tahu kamu akan pergi. Dunia memang tidak cukup luas untuk menahanmu di satu tempat,” kata Rena.
Tapi yang membuat Dewa terdiam bukan kata-katanya, melainkan suaranya. Suara yang tenang, tidak terguncang, namun jelas mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan: penerimaan.
“Aku tidak ingin pergi dari kamu,” kata Dewa akhirnya.
Rena menggeleng pelan.
“Kamu tidak bisa mencintai sesuatu dengan membatasinya. Kalau kamu tinggal hanya untukku, kamu akan menyesal. Dan aku akan menjadi alasan dari penyesalanmu. Aku tidak mau itu.”
Ada jeda panjang setelah itu.
Keduanya duduk diam, hanya mendengarkan suara mesin espresso, sendok yang beradu dengan gelas, langkah orang-orang yang lalu lalang. Kota tetap bergerak seperti biasa, seolah tidak peduli bahwa dua hati sedang belajar untuk saling melepaskan meski saling memilih.
Dewa pergi seminggu kemudian. Tidak ada janji untuk kembali. Tidak ada pesan bahwa mereka akan bertahan. Tetapi sebelum berangkat, ia memberikan satu hal kepada Rena: sebuah foto.
Foto itu adalah potret Rena saat sedang mengetik di kafe, dengan cahaya senja yang jatuh di rambutnya. Di belakang foto itu tertulis:
“Aku tidak mencari tempat pulang. Aku hanya mencari alasan. Dan kamu adalah alasan terbaik yang pernah ada.”
Rena menyimpannya, namun ia tidak menangis. Ia tahu bahwa beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk tinggal. Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajari seseorang bahwa perasaan bisa menjadi sesuatu yang indah, meski tidak dimiliki selamanya.
Waktu berlalu. Musim berubah. Orang datang dan pergi. Kota tetap hidup seperti biasa. Tetapi bagi Rena, setiap kali ia duduk di kafe itu, dan cahaya matahari sore jatuh pada meja tempat ia mengetik, ia tahu ada kenangan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Ia terus menulis, seperti biasa. Namun kini, tulisannya memiliki sesuatu yang berbeda: kehangatan yang lembut, dan luka yang tidak menyakitkan lagi, hanya mengingatkan bahwa ia pernah benar-benar merasakan sesuatu yang tulus.
Baca Juga: dunia pasca krisis membangun kembali, perubahan iklim semakin nyata dunia, menemukan ketenangan di dunia yang
Dan di suatu tempat jauh, mungkin di kota atau negara lain, Dewa masih membawa kamera yang sama. Memotret langit yang berubah warna, memotret wajah-wajah asing, dan mungkin sesekali memikirkan seseorang yang pernah membuatnya merasa cukup untuk berhenti sejenak.
Cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang cinta adalah tentang menghargai momen yang terjadi sekali, namun cukup untuk dikenang seumur hidup.
Yoga Pratama