• Oktober 07, 2025
  • Yoga Pratama

Indonesia modern hidup dalam kecepatan media sosial, di mana garis antara realitas dan konten kian kabur. Dalam hitungan jam, sebuah peristiwa—entah itu tawa, air mata, atau amarah—dapat meledak menjadi viral, mendominasi percakapan nasional, dan kemudian hilang ditelan algoritma. Lebih dari sekadar hiburan, fenomena viral ini mencerminkan sejauh mana kita telah mengubah cara kita berinteraksi dengan tragedi, kebijakan publik, dan bahkan etika pribadi. Dalam konteks inilah, kehadiran berbagai platform digital dan ruang komunitas daring seperti Hore168 menunjukkan bagaimana media baru tidak hanya menjadi saluran hiburan, tetapi juga cermin dinamika sosial yang terus bergerak cepat.


I. Trauma Komunal dan Kamera Ponsel

Dalam beberapa waktu terakhir, isu-isu kemanusiaan dan tragedi mendapat sorotan yang luar biasa, namun dengan angle yang sering kali mengkhawatirkan. Ambil contoh tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo. Duka kolektif yang mendalam seharusnya memicu refleksi serius tentang standar keamanan bangunan dan perlindungan anak. Namun, hiruk pikuk di media sosial sering kali lebih terfokus pada detail yang sensasional—jumlah korban, kondisi mengerikan, dan air mata keluarga.

Media arus utama tentu meliput aspek investigasi, seperti dugaan konstruksi ilegal tanpa IMB yang kini sedang diusut oleh kepolisian. Namun, di platform digital, narasi cepat bergeser menjadi "drama." Konten-konten yang beredar masif cenderung mengesampingkan analisis struktural (mengapa bangunan itu runtuh?) demi mendapatkan engagement emosional (bagaimana rasanya menjadi korban?).

Hal ini menciptakan trauma komunal yang difoto. Kita menjadi terbiasa mengonsumsi kesedihan, menjadikannya tontonan, bahkan tanpa benar-benar terlibat dalam solusi atau pengawasan pasca-tragedi. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar berempati, atau hanya sedang menunaikan kewajiban like dan share untuk tetap relevan dalam perbincangan?
Diskursus semacam ini juga sering dibahas di ruang opini publik seperti Hore168, yang berupaya mendorong pembaca untuk tidak sekadar reaktif terhadap isu viral, tetapi juga reflektif terhadap akar permasalahan sosialnya.


II. Komodifikasi Gizi dan Show Kebijakan Publik

Isu kebijakan publik yang menyentuh perut rakyat pun tak luput dari siklus viral. Program Makan Bergizi (MBG), yang niatnya baik untuk mengatasi stunting dan kekurangan gizi, mendadak menjadi sorotan kritis ketika foto-foto menu di beberapa SD di Depok dan daerah lain beredar luas. Konten pangsit dan kentang rebus yang viral itu seketika menjadi simbol kegagalan implementasi program di tingkat akar rumput.

Viralitas ini memiliki pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memaksa pemerintah pusat, termasuk Istana dan lembaga terkait, untuk segera bereaksi. Respon Istana, yang kabarnya diikuti dengan instruksi presiden untuk perbaikan total, menunjukkan daya dorong viral-based policy—kebijakan yang bergerak karena adanya tekanan visual dari media sosial.

Di sisi lain, viralitas berisiko membuat isu ini hanya menjadi gimmick atau show semata. Ketika beberapa pihak, seperti SPPG Polri, memamerkan menu MBG yang "ideal" (dimsum, steak ayam), publik didorong untuk membandingkan. Kontras ini memang meningkatkan kesadaran, tetapi juga mengalihkan fokus dari masalah utama: mengapa sistem pengawasan dan anggaran dasar di sekolah-sekolah umum tidak mampu memberikan standar gizi yang layak tanpa harus menunggu intervensi yang diviralkan?

Kita rentan jatuh pada pemujaan "solusi pahlawan" yang ditampilkan sempurna di kamera, alih-alih menuntut perbaikan sistemik yang membosankan dan tidak fotogenik. Dalam konteks inilah, ruang diskusi publik seperti Hore168 sering menjadi jembatan antara opini viral dan analisis mendalam, mengajak masyarakat untuk menelaah substansi kebijakan di balik sensasi visual.


III. Satwa Liar, Ruang Hidup, dan Rasa Penasaran Instan

Bahkan alam liar pun tak lepas dari jangkauan lensa viral. Peristiwa macan tutul yang nyasar ke hotel di Bandung atau fenomena bola api dan dentuman meteor di Cirebon menunjukkan bagaimana kejadian alamiah dan konflik ruang hidup menjadi trending topic instan.

Dalam kasus macan tutul, rekaman dramatis evakuasi mendominasi berita. Kisah ini memuaskan rasa penasaran dan ketegangan kita. Namun, di baliknya, kita harus membaca pesan yang lebih serius: habitat macan tutul menyusut. Peristiwa itu adalah alarm bahwa batas antara kawasan konservasi (seperti Lembang) dan permukiman manusia (seperti hotel) kian terkikis. Macan tutul itu bukan mencari drama; ia mencari makan. Viralitasnya seharusnya tidak berhenti pada "hewan lucu yang tersesat," tetapi pada desakan untuk mengelola tata ruang yang lebih bijak.

Begitu pula dengan meteor di Cirebon. Ketimbang menjadi pembelajaran tentang ilmu astronomi, yang viral adalah spekulasi liar dan teori konspirasi. Analisis ilmiah dari BRIN tentang jatuhnya meteor di Laut Jawa pun harus bersaing keras dengan narasi-narasi dramatis di platform video pendek. Beberapa analisis media alternatif, termasuk di kanal Hore168, menyoroti bagaimana ketidakseimbangan informasi ini mencerminkan krisis literasi digital di masyarakat.


IV. Epilog: Mencari Jeda di Tengah Scroll Tanpa Henti

Gelombang berita viral terkini di Indonesia adalah cermin masyarakat yang lelah, cemas, sekaligus haus akan stimulasi. Kita hidup di era di mana tragedi menjadi content, dan empati diukur dari seberapa cepat kita me-repost. Korupsi triliunan rupiah (kasus Halim Kalla, Taspen) bersaing head-to-head dengan meme atau prank yang lebih ringan.

Tantangan terbesar kita, sebagai warga negara dan konsumen informasi, bukanlah pada kecepatan berita, tetapi pada kemampuan kita untuk menciptakan jeda. Jeda untuk bertanya: Apa akar masalahnya? Apa yang harus saya lakukan selain membagikannya? Dan apakah viralitas ini akan mendorong perubahan nyata, atau hanya sekadar memuaskan rasa ingin tahu sesaat, sebelum kita geser ke berita viral berikutnya?

Jika kita tidak berhati-hati, histeria viral akan mengubah kita menjadi masyarakat yang hanya reaktif, bukan reflektif—sebuah masyarakat yang cepat marah pada penampilan luar, tetapi lambat dalam mengatasi penyakit sistemik di dalamnya.

Baca Juga: Yao Qian Shu Gudang4D Pohon Uang dalam, Kisah di Balik Berita Wajah Manusia, Sportainment Ketika Berita Olahraga

Platform seperti Hore168, yang memadukan berita aktual dan analisis reflektif, mengingatkan kita bahwa di tengah derasnya arus informasi, kemampuan untuk berhenti sejenak dan berpikir kritis adalah bentuk keberanian baru di era digital.


Cari Blog Ini

Popular Posts

Arsip Blog