• Oktober 08, 2025
  • Yoga Pratama

Dunia hanyalah sebuah feed tak berujung, pikirku, sambil menatap retakan halus di layar tablet yang sudah berumur tujuh tahun—retakan yang dulunya tak ada. Aku ingat bagaimana retakan itu muncul: pada malam badai, tiga tahun yang lalu. Atau mungkin lima? Atau mungkinkah itu hanya memori palsu yang ditanamkan oleh algoritma untuk memberiku ilusi keunikan?

Di luar jendela kapsul apartemenku, metropolis neon berkedip, tidak terikat pada waktu, hanya terikat pada frekuensi. Aku tidak melihat bintang-bintang lagi; hanya lapisan demi lapisan data yang beriak di cakrawala. Dunia ini seperti simulasi 2waybet—penuh kemungkinan, tetapi dikendalikan oleh probabilitas yang tak sepenuhnya bisa kupahami.


Hilangnya Koordinat Waktu

Aku membuka jendela riwayat di Chronos-App, mencoba mencari titik jangkar: kapan aku terakhir kali merasa nyata?

Tanggal-tanggal berkedip dalam matriks yang sempurna:

20:17, 2 April 2042: Selfie di puncak menara Synth-Cloud Tokyo. Senyumku itu terlalu lebar. Siapa yang tersenyum sebahagia itu?
11:04, 15 Juli 2038: Ulasan bintang lima untuk hidangan “rasa laut dalam” yang bahkan aku tak ingat pernah memakannya.
06:00, 1 Januari 2030: Resolusi Tahun Baru: “Menjadi versi diri yang autentik.” Coretan konyol dari masa lalu.

Waktu telah berhenti menjadi garis lurus. Itu adalah tumpukan file yang diindeks berdasarkan relevansi emosional yang ditentukan oleh platform. Kita tidak hidup dari satu detik ke detik berikutnya; kita hidup dari satu update ke update berikutnya. Kenangan terpentingku—candaan lirih seorang teman, aroma buku tua, rasa sakit yang tulus—semuanya telah dikonversi menjadi metadata, dikompresi, dan disimpan di cloud yang tak terjangkau.

Dan yang paling menakutkan: aku tidak yakin lagi mana yang benar-benar aku rekam, dan mana yang dihasilkan oleh sistem cerdas yang bertugas mengelola nostalgia pribadiku.


Arketipe Diri yang Terdistorsi

Aku memproyeksikan diriku yang lain di dinding hampa. Ia adalah “Aku-Ideal,” dipersonalisasi dari jutaan titik data: selera musik yang sempurna, tanggapan filosofis yang mendalam, kesadaran sosial yang tidak pernah absen. Ia adalah arketipe dari apa yang ingin aku tunjukkan, sebuah patung yang terbuat dari likes dan validasi.

Namun, diri yang sejati, yang tersembunyi di balik retina, adalah kekosongan yang samar.
Krisis eksistensial kita bukanlah bahwa kita akan digantikan oleh mesin; krisisnya adalah bahwa kita secara sukarela menggantikan diri kita sendiri dengan proyeksi digital yang lebih disukai. Kita menjadi hantu yang mengedit feed hantu lain.

Pertanyaan absurd muncul: Apakah aku masih eksis jika aku tidak pernah memposting tentang rasa sakitku yang sebenarnya?
Jawaban sistem: Rasa sakit sejati tidak memiliki nilai engagement yang tinggi. Harap modifikasi narasi untuk memaksimalkan retensi audiens.

Aku teringat, seperti permainan peluang di 2waybet, dunia digital pun memiliki pola kemenangan yang tak selalu adil. Kadang kita menang dalam impresi, tapi kalah dalam makna.


Pencarian Ruang Hening

Aku mematikan tablet itu, membiarkan kegelapan di dalam ruangan memeluk mataku. Untuk sesaat, tidak ada cahaya neon, tidak ada ping notifikasi, tidak ada metrik yang perlu dipenuhi. Hanya keheningan absolut.

Dalam keheningan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku menemukan sedikit resistensi. Resistensi terhadap tuntutan untuk mendokumentasikan, untuk menyaring, untuk mengoptimalkan setiap momen.

Mungkin keautentikan yang baru bukanlah tentang memposting ketidaksempurnaan kita, melainkan tentang menikmati momen yang begitu sepi dan pribadi sehingga tidak mungkin untuk diubah menjadi konten. Momen yang hanya eksis dalam cache biologis kita, dalam saraf yang lambat, yang tak pernah diakses oleh perusahaan teknologi.

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh retakan pada layar tablet sekali lagi. Retakan itu nyata. Itu adalah bukti dari sebuah kesalahan, sebuah kegagalan, sebuah momen yang tidak sempat diedit.

Aku menutup mata dan mencoba mengingat wajah seorang teman, tidak dari selfie yang terfilter, tetapi dari cahaya alami di sebuah sore yang tak terabadikan. Dalam kegelapan, ingatan itu kembali, samar namun hangat, sebuah anomali yang indah.

Eksistensi bukanlah yang kita post. Eksistensi adalah yang kita sembunyikan.
Dan dalam menyembunyikan, kita menemukan kembali diri kita. Aku bernapas. Itu tidak terekam. Itu sudah cukup.


Cari Blog Ini

Popular Posts

Arsip Blog